![]() |
Oleh: Ahyadi, M.Pd. (Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sulawesi Barat) |
OPINI –Menguasai Bahasa Inggris di era digital seperti saat ini adalah sebuah nilai tambah, terutama bagi generasi penerus bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran Bahasa Inggris ini sangat vital terutama dalam membangun generasi yang mampu bergaul, bersosialisasi, dan bekerja sama dalam ruang internasional.
Selain itu, keterampilan menggunakan Bahasa Inggris ini juga menjadi persyaratan untuk meraih beasiswa, pekerjaan, dan menambah peluang bisnis di level lebih tinggi. Oleh karena itu, pemerintah memasukkan mata pelajaran Bahasa Inggris ini dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, khususnya di tingkat dasar, menengah pertama, dan menengah atas.
Sayangnya, upaya penguatan keterampilan menggunakan Bahasa Inggris ini dianggap berjalan belum optimal. Tidak sedikit para generasi kita, yang telah menyelesaikan pendidikan 9 tahun masih terbata-bata dalam bercakap Bahasa Inggris. Bahkan, mereka masih gagap dan tidak paham ujaran Bahasa Inggris sama sekali, terutama yang terdengar langsung dari penutur asli.
Artinya, kita masih tertinggal cukup jauh dari negara-negara lain dalam urusan menguasai bahasa internasional ini.
Berdasarkan laporan EF English Proficiency Index (EF EPI) 2023, kemampuan bahasa Inggris masyarakat Indonesia berada pada peringkat 79 dari 113 negara, dengan skor 473. Skor ini tiada lain menunjukkan bahwa kemampuan bahasa Inggris masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, bahkan di level Asia Tenggara sekalipun.
Fakta lain menunjukkan bahwa keterampilan menggunakan Bahasa Inggris ini justru lebih dominan dikuasai oleh orang Indonesia yang umumnya bermukim di kota Besar, khususnya di pulau Jawa. Berbeda dengan para generasi yang berada di luar Jawa, terutama yang mengandalkan pendidikan dari sekolah negeri tanpa tambahan nutrisi dari kursus atau pelatihan intensif.
Hal yang sama juga dirasakan oleh penutur Bugis, terutama mereka yang masih berada di rentang usia remaja dan mahasiswa. Realitas ini tentu mengundang tanda tanya. Ada apa sebenarnya? Apakah pembelajaran di sekolah tidak berjalan efektif? Apakah kurikulum kita selama ini belum tepat?
Penelitian yang pernah penulis lakukan di rentang 2018 hingga 2019 telah menemukan dan mengembangkan sebuah pendekatan dan materi ajar dalam pengajaran Bahasa Inggris, khususnya bagi penutur Bugis. Pembelajaran yang mulanya perlu pelatihan selama enam bulan dengan pertemuan 2 kali seminggu secara reguler, melalui hasil penelitian ini dapat dipersingkat menjadi 10 kali pertemuan saja.
Setelah melakukan uji coba terbatas pada peserta kursus di Neroa School, lembaga kursus di Kabupaten Soppeng, yang dilanjutkan dengan pendekatan yang sama di beberapa sekolah, hingga mahasiswa di Universitas Sulawesi Barat, penulis menyimpulkan bahwa pendekatan dan materi ajar tersebut dapat diimplementasikan bukan hanya untuk penutur Bugis, tetapi juga dapat diterapkan untuk penutur bahasa lokal lainnya, seperti Mandar, Mamuju, Mamasa, dan rumpun bahasa lain di Sulawesi Selatan dan Barat.
Penelitian berbasis R&D (Research and Development) akan terus dilakukan oleh penulis, terutama dengan memperhatikan interferensi-interferensi dalam aspek berbahasa Inggris sebagai penutur asing, khususnya di Sulawesi Selatan dan Barat agar generasi muda di daerah juga dapat menguasai bahasa Inggris tanpa harus merasa tertekan atau bosan dengan metode konvensional. Dengan harapan, agar generasi dari penutur Bugis dan bahasa lokal lainnya dapat belajar bahasa Inggris secara alami, tanpa kehilangan jati diri dan bahasa Ibunya.
Intinya adalah penutur Bugis, Mandar, dan seluruh penutur bahasa daerah perlu pendekatan yang tepat dalam menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Selain itu, mereka juga perlu mempertimbangkan passion dan gaya belajar yang sesuai dengan potensi masing-masing.
Terkadang seseorang memiliki potensi besar tetapi tidak berhasil mencapai keterampilan optimal dikarenakan tidak menemukan metode dan guru yang tepat, termasuk dalam penguasaan Bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
Apa pun yang dihadapi, nikmati semua keterbatasan sembari terus bertumbuh tanpa beban, maksimalkan segala potensi, dan temukan lingkungan yang kondusif untuk saling berinteraksi positif menjadi generasi emas yang mampu mewujudkan Trigatra Bahasa, mengutamakan Bahasa Indonesia, melestarikan Bahasa Daerah, dan menguasai Bahasa Asing.
Penulis: Ahyadi, M.Pd.
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sulawesi Barat.